RED TIDE
Berbagai media nasional melaporkan
terjadinya kematian puluhan ribu ikan di keramba apung milik warga di
Pantai Ringgung, Teluk Lampung, Kabupaten Pesawaran. Ikan yang
dibudidayakan oleh warga hampir seluruhnya musnah dan gagal panen,
diantaranya adalah Ikan kerapu dan Kakap yang rencananya akan dipanen
dan dipasarkan ke sejumlah negara Asia, seperti Jepang dan Cina.
Kerugian yang terjadi diperkirakan mencapai IDR 5 milyar. Diduga hal ini
disebabkan oleh adanya ledakan alga (Algae blooming) di kawasan tersebut.
Sepekan sebelum terjadinya kematian
mendadak ikan-ikan tersebut, permukaan air laut di teluk lampung tampak
berwarna kecoklekatan, bahkan merah pekat di beberapa area.
Fenoma yang biasa disebut red tide ini merupakan yang pertama terjadi di Teluk Lampung. Akumulasi fitoplankton dari jenis dinoflagellata
dengan cepat hingga mencapai konsentrasi tinggi pada kolom air dapat
menimbulkan perubahan warna pada permukaan air sehingga permukaan air
tampak keruh, merah, ungu atau pink. Hal ini disebabkan oleh
pigmen fotosintetik pada Dinoflagellata yang bervariasi antara hijau, cokelat hingga merah.
Beberapa species Red tide bersifat ichtyotoxic dan berasosiasi dengan produksi toksin alami dan deplesi oksigen terlarut sehingga berbahaya. Ikan
dapat terkena neurotoksin yang menyebabkan kematian atau mati lemas
karena kekurangan oksigen. Selain menyebabkan mortalitas species laut
dan pesisir seperti ikan, burung, mamalia laut dan organisme lain, red tide juga dapat membahayakan manusia. Konsumsi tiram atau ikan yang terkontaminasi toksin red tide dapat menyebabkan iritasi mata dan respiratori (batuk, bersin, keluar airmata, gatal-gatal).
Selain berbahaya bagi kesehatan manusia, red tide juga mengakibatkan kehancuran ekonomi sehingga di beberapa wilayah fenomena outbreak dari red tide dipantau secara khusus seperti misalnya di Florida dan Texas.
Debat mengenai penyebab terjadinya red tides masih bersifat kontroversial, mengingat red tide secara alami dapat terjadi di seluruh pesisir dunia dan tidak semuanya melepas toksin seperti misalnya fenomena non-toksin red tide spesies Noctiluca scintillans di
New Zealand. Meskipun demikian, para petani keramba apung di Teluk
Lampung menduga peristiwa ini ada hubungannya dengan industri tambak
tradisional yang menggunakan bahan-bahan kimia serta kondisi hutan
mangrove yang telah rusak.
Faktor yang diduga berperan dalam menyebabkan red tide adalah
peningkatan asupan nutrien ke perairan akibat pertumbuhan populasi dan
penggunaan lahan, serta peningkatan temperatur air akibat pemanasan
iklim global.
Di Teluk Lampung fenomena red tide memang
baru pertama kali terjadi, namun bukan berarti tidak akan terjadi lagi
di kemudian hari. Beberapa manajemen yang diperlukan dalam menghadapi
hal ini adalah :
1. Pengendalian faktor-faktor potensial yang dapat menyebabkan red tide seperti misalnya penerapan strategi manajemen nutrisi untuk mengurangi masuknya kelebihan nutrien ke badan perairan.
2. Pengendalian untuk mengontrol dan mengeliminasi red tide saat fenomena ini terjadi misalnya dengan melakukan penelitian mengenai teknologi yang dapat mengeliminasi terjadinya red tide dan dampak yang ditimbulkan
3. Pengendalian untuk mengurangi dampak dari terjadinya red tide (mitigasi). Hal ini dapat dilakukan dengan adanya program untuk monitoring, forecasting dan deteksi terjadinya red tide, pengayaan pengetahuan dan persepsi publik mengenai red tide serta pengukuran aktivitas ekonomi, dan rencana pemulihan (recovery).
Dengan manajemen yang baik, diharapkan petani keramba ikan tidak perlu lagi merugi hingga milyaran seperti sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar